Welcome to my blog

Kamis, 26 Februari 2015

Sejarah perang ta'if


Peristiwa penolakan Bani Tsaqif saat hijrah ke Thaif itu merupakan salah satu kejadian yang dianggap sebagai salah satu kejadian paling menyulitkan bagi Rasulullah SAW.
Thaif. Wilayah yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Tanah Suci Makkah itu merupakan salah satu tempat yang bersejarah dalam perkembangan agama Islam. Ke wilayah yang bersuhu dingin itulah, Rasulullah pernah berhijrah. Di tempat itulah, kaum Muslim di era Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah bertempur membela agama Allah.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW ke Thaif, menurut Thabaqat Ibnu Sa’ad, terjadi pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian. Tak lama setelah Khadijah dan Abu Thalib wafat, tekanan kaum kafir Quraisy semakin menjadi-jadi. Abu Thalib-paman Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam-semasa hidupnya selalu melindunginya dari siksaan dan teror kafir Quraisy.
Sepeninggal kedua orang yang dicintainya, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencoba untuk berhijrah. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, menurut Dr Akram Dhiya al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, berupaya mencari lahan dakwah baru di Thaif. Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencoba meminta bantuan kepada Tsaqif.
“Namun, mereka malah memerintahkan anak-anak untuk melempari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan bebatuan,” papar Dr Akram. Al-Waqidi menyebutkan, Rasulullah SAW tinggal di Thaif selama 10 hari. “Seluruh rincian peristiwa hijrah ke Thaif itu ditulis oleh para penulis kitab Al-Maghazie,” ungkap Dr Akram.
Peristiwa penolakan Bani Tsaqif saat hijrah ke Thaif itu merupakan salah satu kejadian yang dianggap sebagai salah satu kejadian paling menyulitkan bagi Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Hal itu pernah diungkapkan Rasulullah SAW ketika Aisyah bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
“Apakah engkau mengalami peristiwa yang amat menyulitkan setelah peperangan Uhud,” tanya Aisyah. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Sungguh aku temukan (rasakan) suatu yang amat menyulitkan di kaummu, yaitu peristiwa Aqbah di Thaif. Tatkala aku menawarkan misiku pada Ibnu Abdu Yalil bin Abdi Kalal, ia tak mereseponsku.”
Menurut Dr Akram, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pun pergi dalam keadaan masygul. Bahkan, beliau mengaku sempat tak sadar hingga sampai di Qorn Tsa’alib. “Aku menengadahkan kepalaku, tiba-tiba ada sekumpulan awan memayungiku. Aku pun mengarahkan pandanganku ke sana dan melihat Jibril. Ia menyeruku: “Sesungguhnya Allah Ta’aalaa mendengar apa yang dilakukan oleh kaummu terhadap dirimu dan penolakan mereka padamu. Allah telah mengutus malaikat gunung untuk melayani semua keinginanmu.”
Maka, Malaikat itu mengucapkan salam dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah mendengar apa yang diucapkan kaummu kepadamu. Aku malaikat gunung diutus oleh Rabbmu untuk melayani semua perintah dan permintaanmu. Jika engkau mau, niscaya akan kami timpakan gunung Ahsyabain ini kepada mereka.”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Justru aku berharap ada generasi mereka di kemudian hari yang menyembah Allah dan tidak berbuat syirik sedikit pun.” (Sahih al-Bukhari, Fathul Bari 6: 312-313).
Menurut Dr Akram, setelah mengalami masa-masa yang sulit itu, yakni hijrah ke Thaif, Allah Ta’aalaa menghibur Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan peristiwa Isra Mikraj, yakni perjalanan di malam hari dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa dan terus hingga menghadap Sang Khalik di Sidratul Muntaha.
Perang Thaif
Thaif juga tercatat dalam sejarah Islam karena kaum Muslim di era Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengalami Perang Thaif. Setelah pasukan kaum Muslim berhasil memukul mundur pasukan tentara Hawazin dan Tsaqif dalam Perang Hunain, pasukan tentara Muslim terus mengejar mereka hingga ke Thaif. Upaya itu dilakukan untuk mematikan kekuatan kaum kafir yang selalu memerangi umat Islam.
Sebelum melarikan diri ke Thaif, pasukan Hawazin dan Tsaqif sempat dikejar hingga Nakhlah dan Authas. Namun, tentara kafir masih bisa melarikan diri hingga ke Kota Thaif. Di kota itulah, orang-orang Tsaqif melarikan diri. Bahkan, di kota itu pula panglima tentara Hawazin, Malik bin Auf an-Nasri, bersembunyi.
Menurut Dr Akram, Kota Thaif sangat strategis digunakan untuk melarikan diri bagi tentara musuh. Betapa tidak, wilayah itu dikelilingi perbukitan dengan pagar-pagar serta benteng-benteng pertahanan yang kokoh. “Tak ada jalan yang bisa menembus ke sana, kecuali beberapa pintu yang sudah ditutup oleh orang-orang Tsaqif,” tuturnya.
Mereka menutup pintu masuk ke Thaif setelah menyimpan perbekalan yang diperkirakan bisa mencukupi kebutuhan selama satu tahun dan mempersiapkan segala peralatan perang. Menurut Dr Akram, pasukan tentara Muslim sampai di Thaif pada 20 Syawal. Tentara kaum Muslim belum sempat beristirahat setelah Perang Hunain dan mengejar musuh hingga ke Nakhlah dan Authas yang dimulai pada 10 Syawal.
Menurut riwayat Urwah bin az-Zubair dan Musa bin Uqbah dalam As-Sunan al-Kubra, pasukan tentara Muslim mengepung Thaif selama belasan malam. Menurut Dr Akram, ada pula riwayat yang menyebutkan, pengepungan itu berlangsung selama 25 hari, 30 hari dan 40 hari.
Kedatangan kaum Muslim ke Thaif melalui jalan lama, yakni dari arah selatan. Menurut Dr Akram, pasukan tentara Muslim sampai di Thaif setelah melewati Nakhlah al-Yamaniyah, kemudian Qarnul Manazil, sejauh 80 kilometer dari Makkah dan 53 kilometer dari arah Thaif. Jalur selatan dipilih karena bagian utara dipagari gunung-gunung yang sulit didaki.
“Jalur selatan dipilih karena Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencoba menghalangi antara kaum Tsaqif dan sekutunya dari suku Hawazin yang ada di sebelah tenggara Thaif,” papar DR Akram.  Dalam Perang Thaif, pasukan kaum Muslim diserang dengan anak-anak panah yang dilesatkan kaum Tsaqif.
Mengurung kaum Tsaqif di Thaif membutuhkan pengorbanan yang begitu besar. Ibnu Ishaq menyebutkan, sebanyak 12 sahabat gugur dalam perang itu. Sedangkan dari musuh, hanya tiga orang yang tewas. Rasululah sama sekali tak mau membinasakan kaum Tsaqif. Beliau justru berharap agar orang-orang Tsaqif bisa ditaklukkan dan masuk Islam.
Sebab, kaum itu adalah orang-orang cerdik dan pintar. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pun berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk bagi orang-orang Tsaqif.” Hingga akhirnya, doa dan harapan Rasulullah itu tercapai. Kaum Tsaqif sempat mengirimkan utusannya menghadap Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan menyatakan keislamannya.

Sumber:http://republika.co.id:8080/koran/0/130903/Thaif_Dari_Hijrah_hingga_Perang (dengan sedikit editing pada beberapa bagian)

Sejarah perang tabuk

perang02
Ada tiga orang yang mereka diuji keimanannya oleh Allah ketika ada seruan jihad pada perang tabuk. Salah satunya adalah Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu, beliau adalah yang termuda di antara dua Shahabat yang lain. Pada saat seruan untuk berjihad, Ka’ab bin Malik saat itu merasa bahwa dia sangatlah pada kondisi paling kuat, dan tidak memiliki udzur untuk tidak ikut berperang, bahkan kendaraan untuk berperang sudah dia siapkan. Namun, Ka’ab menunda-nunda keberangkatannya, yang akhirnya dia tidak berangkat berjihad sama sekali.
Kemudian sepulangnya Rosulullaah shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam dari tabuk, maka menghadaplah orang-orang yang tidak ikut berperang. Ketika itu orang-orang munafiq mengemukakan alasan-alasan dusta agar mereka selamat. Namun apa yang dilakukan oleh Ka’ab adalah jujur, Ka’ab mengatakan bahwa yang dia lakukan itu tidaklah memiliki udzur dan Ka’ab mengharapkan ampunan dari Allah dan tidak berdusta terhadap Allah dan RosulNya.
Ternyata Allah menunda memberikan keterangan bahwa taubatnya diterima, agar semua itu menjadi pelajaran berharga dan semua itu penuh dengan hikmah. Ka’ab bersama dua Shahabat yang lain mengalami pemboikotan oleh manusia selama 50 malam. Sampai-sampai mereka bertiga merasa dunia ini sempit dan merasa diasingkan. Namun setelah itu akhirnya Allah memberitahukan kepada Nabi shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam bahwa taubatnya Ka’ab diterima.
Sungguh terdapat faedah-faedah dari penggalan kisah ini. Di antaranya yang disebutkan Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahullaah dalam “Jaami’ As-Siroh”;
“Jika seseorang memiliki peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepadaNya, maka ia harus membulatkan tekad untuk melakukannya, bersegera kepadanya, dan tidak mengulur-ulurnya. Terutama jika ia tidak yakin dengan kemampuannya dan memiliki faktor-faktor untuk meraihnya. Sebab, tekad dan kemampuan itu cepat lenyap, jarang sekali menetap. Allah akan menghukum siapa saja yang telah Dia bukakan untuknya pintu kebajikan lalu ia tidak segera melakukannya, dengan menghalangi antara hatinya dengan kehendaknya. Akibatnya, ia tidak bisa melakukannya setelah meniatkannya sebagai bentuk hukuman terhadapnya. Barangsiapa tidak memenuhi seruan Allah dan RosulNya, ketika Dia menyerunya, maka Dia menghalangi antara hatinya dengan kehendaknya. Akibatnya, setelah itu, ia tidak bisa lagi memenuhi seruanNya. Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” {QS. Al-Anfal: 24.}
Allah telah menyatakan hal ini dalam firmanNya,
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُواْ بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan pengelihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaannya.” {QS. Al-An’am: 110.}
Dia berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” {QS. Ash-Shoff: 5.}
Dia berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” {QS. At-Taubah: 115.}
Dan, ini banyak dalam Al-Quran.”
Pelajaran dari kisah perang tabuk, ketika Shahabat Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu yang menunda ikut berangkat berperang di peperangan tabuk. Dikutip dari “Jaami’ As-Sirooh” Al-Imam Ibnu Qoyyim rohimahullaah, Penyusun; Yusri Sayyid Muhammad. Edisi terjemah: “Sejarah Hidup Nabi Muhammad & Para Shahabat”, hal. 273, Daar An-Naba’.

Perang widan

Perang Badar, Kisah Perang Para Malaikat Bulan Shafar, awal bulan ke 12 sejak Hijrahnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam ke Madinah. Untuk pertama kalinya, Rasulullah keluar untuk berperang dalam kancah perang Widan. Inilah permulaan di syariatkannya sebuah peperangan dalam Islam. Perang tersebut bertujuan memerangi kaum Quraisy dan Bani Hamzah yang memusuhi dakwah Nabi. Persiapan kaum muslimin sudah cukup matang, namun peperangan urung digelar. Bani Hamzah menawarkan perdamaian. Rasulullah dan para sahabat pun kembali ke Madinah. Selang beberapa saat kemudian, Rasulullah mendengar berita tentang kedatangan kaum Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb, kafilah ini datang dari Syam menuju Makkah. Teringatlah kaum muslimin pada peristiwa beberapa saat sebelumnya. Ketika masih di Makkah, harta pengikut Rasulullah di rampas oleh orang-orang Quraisy. Itulah sebabnya Rasulullah segera meminta umat nya untuk mencegah iring-iringan kafilah tersebut. Barang bawaan mereka harus di rampas sebagai gantinya. Namun ajakan Rasulullah ini, masih di sambut dingin oleh sebagian kaum muslimin. Kebanyakan mereka berpikir, paling-paling akan bernasib seperti Perang Widan, alias peperangan tak bakal terjadi. Semangat Jihad Menyala Suatu malam di bulan Ramadhan, berangkatlah sekitar 314 umat Islam. Mereka mengendarai 70 ekor unta. Setiap unta ditunggangi secara bergantian oleh dua sampai tiga orang. Rasulullah langsung bertindak sebagai komandan perang.
Sayang, rencana penyergapan itu bocor. Telinga Abu Sufyan mendengarnya dan dia segera mengutus kurir bernama Dhamdham bin Amer Al-Ghiffari ke Makkah. Abu Sufyan meminta bantuan kaum Quraisy agar melindungi harta yang tengah di incar kaum muslimin. Pengaruh Abu Sufyan memang luar biasa. Seluruh kaum Quraisy serta merta berangkat ke Madinah, tak ada yang tertinggal. Tujuannya satu, yakni; perang. Jumlah konvoi pasukan itu sekitar 1000 personel. Iring-iringan kafilah Abu Sufyan sendiri justru meloloskan diri dengan menyusuri mata air Badar, terus ke pantai, lalu menuju Makkah. Berita itu terdengar sampai ke telinga Rasulullah. Jadi, rencana penghadangan tak jadi dilakukan. Rasulullah segera mengumpulkan para sahabatnya, kaum muhajirin. Dalam keadaan tak memiliki pilihan lain kecuali berperang untuk membela diri, Rasulullah masih sempat meminta dukungan kepada para sahabatnya.
Ternyata, meski jumlahnya sedikit, semangat kaum muhajirin untuk berjihad (berperang) menyala-nyala. Apalagi, perang memang sudah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa Ta’ala melalui sabda Rasul -Nya. Sementara kaum Quraisy dibawah pimpinan Abu Jahal mulai berjalan kearah lembah Badar. Lembah ini memang sejak lama ingin di incar oleh Abu Jahal untuk diduduki. Sampailah mereka di salah satu sisi lembah. Di sisi yang berseberangan, Rasulullah tampak gagah memimpin pasukan siap tempur. Posisi mereka nyaris berhadap-hadapan di dekat mata air Badar. Salah seorang sahabat, Al-Habab bin Mundzir Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan taktik peperangan?” , Rasulullah menjawab; “tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan taktik peperangan.” Al-Habab lalu mengusulkan, “Ya Rasulullah! Jika demikian, ini bukanlah tempat yang tepat. Ajaklah pasukan kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat kubu pertahanan disana dan menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita membuat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita akan berperang dalam keadaan persediaan air minum cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air minum.” Rasulullah menjawab, “pendapatmu cukup baik.” Pasukan muslimin segera bergerak ke tempat yang di usulkan oleh Al-Habab bin Mundzir.
Ketika tentara Quraisy dengan angkuhnya menuju lembah Badar, Rasulullah segera mengangkat tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Rabbi, jika pasukan kecil ini sampai binasa, tidak akan ada lagi yang menyembah –Mu dengan hati yang Ikhlas.” Rasulullah terus memanjatkan doa dengan khusyuk seraya menengadahkan kedua telapak tangan ke langit. Abu Bakar Ash Shidiq ra yang melihat kesenduan di wajah Rasulullah berusaha menenangkan hati Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, demi diriku yang berada di tangan –Nya, bergembiralah! Sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi janji yang telah diberikan kepadamu.” Janji Allah Tiga orang Quraisy maju ke lapangan terbuka, ruang yang memisahkan kaum muslimin dan kaum Quraisy. Inilah kebiasaan orang Arab saat pertempuran akan dimulai, duel satu lawan satu. Tiga sahabat Rasulullah, Hamzah, Ali Bin Abu Thalib, dengan pedang bercabang dua yang diberi nama Zulfikar, dan Abu Ubaidah, menerima tantangan itu. Pertarungan berlangsung seru. Alhamdulillah, Hamzah, Ali dan Abu Ubaidah memenangkan duel tersebut. Semangat kaum muslimin pun semakin membara. Sebaliknya, perasaan kaum Quraisy mulai digerogoti ketakutan. Pertarungan pun berubah menjadi pertarungan umum. Dan, apa yang terjadi? Janji Allah, seperti yang di ingatkan oleh Abu Bakar kepada Rasulullah, benar-benar terjadi.
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala nya melihat (seakan-akan) kaum muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan –Nya siapa yang dikehendaki –Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki mata hati.” (QS. Ali Imran : 3)
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu menjadi orang yang bersyukur, (ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin, “Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit) ? ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 123-126)
Orang-orang Quraisy terpukul mundur. Mereka menderita kekalahan besar. Banyak dari pemimpin mereka yang tewas. Abu Jahal, salah satunya, jatuh sebagai korban kesombongannya yang tidak terkendali. Total ada 70 orang yang tewas dan 70 lainnya menjadi tawanan perang. Sedangkan dari pihak kaum muslimin ada 14 orang yang gugur sebagai Syuhada. Para tawanan diperlakukan secara baik oleh kaum muslimin. Kecuali dua orang, salah satunya bernama Nazr bin Harits – seperti tertulis dalam Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 32. Keduanya di hukum mati karena kebencian nya yang sangat mendalam terhadap kaum muslimin. Atas perintah Rasulullah, para tawanan tak boleh disakiti. Bahkan, kaum muslimin membagi makanannya sendiri kepada para tawanan itu. Roti yang paling baik diberikan kepada kaum kafir, sedangkan kaum muslimin cukup hanya dengan menyantap buah kurma saja. Para tawanan naik kendaraan, sementara kaum muslimin hanya berjalan kaki. Mereka diperlakukan layaknya seorang raja.
(Agung Pribadi/Hidayatullah). Majalah Hidayatullah Edisi 03 / XVIII / Juli 2005 Jumadil Ula 1426 H,

Penaklukan Kota Mekah/Fath al-Makkah

Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.

Sebab Terjadinya Fathu Makkah
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
Pasukan Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-“.
Setelah beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.
“Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu Sufyan
“Itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab Abbas.
Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata,
“Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan,
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Abbas menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!”
Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.”
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
“Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra': 81)
جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba': 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.
Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:
“لا إِله إِلاَّ الله وحدَّه لا شريكَ له، لَهُ المُلْكُ وله الحمدُ وهو على كَلِّ شَيْءٍ قديرٌ، صَدَقَ وَعْدَه ونَصرَ عَبْدَه وهَزمَ الأحزابَ وحْدَه
“Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Beliau bersabda,
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.

Sumber Artikel www.muslim.or.id

Sejarah perang hunain


Wahai pembaca, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyanjung para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa ayat Al-Qur`an dan menyatakan ridha terhadap mereka. Wahai pembaca, Nabi melarang para sahabat beliau dicela dan mengatakan bahwa andaikata kita menyedekahkan emas segunung Uhud, tidak apa-apanya dibanding sedekah mereka satu mud, bahkan setengah mudnya. Meskipun demikian, kita temukan kelompok Rafidhah yang membebaskan mulutnya untuk mencela para sahabat Nabi. Di antaranya, mereka mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar melarikan diri dari perang Uhud dan Hunain. Namun, kali ini kita akan membahas tuduhan mereka bahwa kedua sahabat Nabi ini melarikan diri saat perang Hunain.
Sesungguhnya tuduhan mereka itu adalah kebohongan yang terus diulang-ulang dari para pendahulu mereka hingga sekarang. Andaikata mereka tidak taklid begitu saja dan mau sejenak membaca sejarah, niscaya mereka tidak akan mengatakan seperti itu. Marilah kita baca rekaman sejarahnya yang diabadikan oleh para pakar sejarah Islam terpercaya.
Salah satunya, Ibnu Hisyam. Dia merekam kisah perang Hunain dalam Sirah Ibnu Hisyam (4/56-59). Di antaranya ia mengatakan,

“Kemudian beliau mengarah ke kanan, lalu bersabda, “Wahai manusia, mau ke mana? Kemarilah ke sini! Aku Rasulullah, aku Muhammad bin Abdillah!” Dia (Jabir bin Abdillah) mengatakan, “Maka keadaan kacau, unta-unta saling bertabrakan, dan orang-orang pergi kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beberapa orang dari kaum Muhajirin, kaum Anshar dan Ahlu Baitnya. Di antara kaum Muhajirin yang tetap bersama beliau adalah Abu Bakar dan Umar, dari Ahlul Baitnya Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdil Muthallib, Abu Sufyan bin Harts, putra Abu Sufyan bin Harts, Fadhl bin Abbas, Rabi’ah bin Harts, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ummu Aiman bin Ubaid yang terbunuh ketika itu.”

Kisah ini juga dicatat Ibnu Katsir dalam Tarikh Ibnu Katsir (3/618), Thabari dalam Tarikh ath-Thabari (3/74), Ahmad dalam Musnad Ahmad (3/376) dan Baihaqi dalam Dalal`il an-Nubuwwah (5/120 dan 126).
Dalam riwayat tadi, kita mendapat kejelasan bahwa Abu Bakar dan Umar termasuk orang yang tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kekacauan perang Hunain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tuduhan kaum Rafidhah tadi.
Satu hal ini yang perlu ditekankan di sini, lari dari peperangan tidak serta merta divonis sebagai perbuatan yang terlarang. Allah subhanahu wata’ala membolehkan lari dari medang perang dalam rangka siasat perang atau bergabung dengan pasukan Islam yang lain. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ (15 وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (16)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (al-Anfal: 15-16)
Demikian jawaban singkat atas tuduhan bahwa Abu Bakar dan Umar lari dari medan perang Hunain. (M. Abidun Zuhri)

Sejarah Perang Mu’tah

  Sejarah  Perang Mu’tah

kisah-sejarah-perang-mu'tah
Daulahislam.com : Peperangan ini tercatat di dalam sejarah sebagai sebuah peperangan besar, di mana tentara Islam yang berjumlah 3.000 orang melawan 200.000 tentara Romawi Nasrani. Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya 12 orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertempuran Mu’tah (bahasa Arab: معركة مؤتة , غزوة مؤتة) terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah), dekat kampung yang bernama Mu’tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al Karak, antara pasukan Khulafaur Rasyidin yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan tentara Kekaisaran Romawi Timur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendakwahi dan memerangi manusia hingga mereka mengikrarkan kalimat tauhid. Maka kemuliaan bagi yang mengikuti agamanya dan kehinaan bagi yang menyelisihinya.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah dari kerabatnya yang terdekat dari kabilah Quraisy lalu bangsa Arab secara umum dan siapa saja yang dekat atau datang kepadanya dari berbagai penjuru, maka demikian pula beliau memerangi musuh pertama yang terdekat yaitu kafir Quraisy para penyembah berhala kemudian bagnsa Arab di sekitar Mekah dan Madinah dan lainnya lalu ahli kitab dari bangsa Yahudi di Madinah dan sekitarnya.
Dan sekarang tiba saatnya untuk memerangi bangsa Romawi yang beragama Nasrani dan nanti akan tiba gilirannya memerangi kaum Majusi para penyembah api dan seluruh umat kafir hingga agama Allah tinggi dan jaya di permukaan bumi, di atas semua agama sekalipun orang-orang kafir benci dengan kemenangan Islam. Inilah Islam dan inilah jihad yang merahmati umat manusia dan tidak membiarkan mereka berlarut-larut dalam laknat Allah dengan tetap dalam kekafiran, tetapi Islam mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik dan kufur kepada cahaya Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah takjub dengan orang-orang yang masuk surga dalam keadaan diikat rantai besi.” (HR. Bukhari). Maksudnya bahwa mereka tertawan oleh tentara Islam lalu diikat dengan rantai besi kemudian digiring ke negeri Islam dan akhirnya mereka masuk Islam sehingga berbahagia dengan surga.
Dan termasuk hikmah ilahiyyah tatkala orang-orang kafir dari berbagai bangsa tidak bersatu padu dalam satu waktu untuk menyerang kaum muslimin. Tatkala kafir Quraisy memerangi kaum muslimin, maka bangsa Arab lainnya diam menunggu hasil dari Quraisy. Ketika seluruh bangsa Arab dan Yahudi bersekutu memerangi kaum muslimin, maka umat Nasrani diam menunggu hasil peperangan tersebut. Demikian pula tatkala umat Islam berperang melawan Romawi, maka bangsa Persia Majusi diam menunggu hasil peperangan ini hingga semua bangsa dan semua agama ditundukkan oleh kaum muslimin. Firman Allah:
خَيْرًا وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ
Dan Allah memelihara kaum muslimin dari peperangan.” (QS. Al Ahzab: 25)

Sebab Terjadinya Perang Mu’tah

Sebab terjadinya perang ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu –dan berlaku hingga sekarang- bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah akibat tindakan jahat ini, beliau mengirim pasukan perang pada Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.”
Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.

Tentara Allah Subhanahu wa Ta’ala Berangkat

Pasukan ini berangkat hingga tiba di Ma’an wilayah Syam dan sampai kepada mereka berita bahwa Raja Romawi bernama Heraklius telah tiba di Balqa bersama 100.000 tentara dan bergabung bersama mereka kabilah-kabilah Arab yang beragama Nasrani yang berjumlah 100.000 tentara sehingga total tentara musuh berjumlah 200.000 tentara. Setelah para sahabat bermusyawarah, sebagian mereka mengatakan, “Kita mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menambahkan kekuatan tentara atau memerintahkan kepada kita sesuatu.”
Lalu panglima mereka yang ketiga, Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu, menyemangati mereka seraya mengatakan, “Wahai kaum! Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian takutkan sungguh inilah yang kalian cari (yakni) mati syahid. Kita tidak memerangi manusia karena banyaknya bilangan dan kekuatan persenjataan, tetapi kita memerangi mereka karena agama Islam ini yang Allah muliakan kita dengannya. Bangkitlah kalian memerangi musuh karena sesungguhnya tidak lain bagi kita melainkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu menang atau mati syahid.”
Maka sebagian mereka berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah benar.” Lalu mereka berangkat sampai mereka tiba di Balqa tempat musuh berada.
Ini munjukka betapa besar keberanian para sahabat dalam jihad memerangi musuh-musuh Allah, semoga Allah melaknat Syi’ah yang mencela para sahabat.

Pertempuran

Tentara Islam dan tentara kufur saling berhadapan. Perlu kita ketahui, tentara di medan perang dibagi menjadi lima pasukan, yaitu: pasukan depan, belakang, kanan, kiri, dan tengah sebagai pasukan inti. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat banyak mengharuskan seorang tentara dari sahabat melawan puluhan tentara musuh. Akan tetapi, tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak merasakannya sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding sepuluh –sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat,
Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan mengalahkan 200 orang.” (QS. Al Anfal: 65)
Tentara Allah sebagai wali dan kekasih-Nya yang berperang untuk meninggikan agama-Nya, maka pasti Allah bersama mereka. Adapun orang-orang kafir sebanyak apapun bilangan dan kekuatan mereka, maka ibarat buih yang tidak berarti apa-apa.
Peperangan berkecamuk dengan dahsyat. Pusat perhatian musuh tertuju kepada pembawa bendera kaum muslimin dan keberanian para panglima Islam dalam maju memerangi musuh, hingga mati syahidlah panglima pertama, Zaid bin Haritsa radhiallahu ‘anhu. Lalu bendara perang diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau berperang habis-habisan hingga tangan kannya terputus, lalu bendera dibawa dengan tangannya kirinya hingga terputus pula dan merangkul bendera dengan dadanya hingga terbunuh. Sebagai balasannya, Allah menggantikan kedua tangannya dengan dua sayap agar di surga ia dapat terbang ke mana saja. Setelah beliau syahid ditemukan pada tubuhnya terdapat 90 luka lebih antara tebasan pedang, tusukan panah atau tombak yang menunjukkan keberaniannya dalam menyerang musuh.
Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.
Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.
Setelah berperang lama, Khalid radhiallahu ‘anhu menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir –yang akan merugikan Romawi.
Dalam perang ini, Khalid radhiallahu ‘anhu berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Maka semoga Allah melaknat orang-orang Syi’ah yang tidak mengakui keutamaan para sahabat. Seandainya Syi’ah mencela seorang saja dari sahabat biasa, sungguh cukuplah sebagai kejelekan mereka, lalu bagaimana jika yang mereka cela adalah kebanyakan sahabat bahkan yang paling utama di antara mereka. Sungguh tidak ada kebaikan yang dilakukan oleh siapa pun kecuali para sahabat merupakan pendahulunya dan mendapat pahalanya.
Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya dua belas orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Adapun pasukan musuh tidak dapat dipastikan bilangan mereka yang terbunuh, tetapi diperkirakan sangat banyak. Hal ini dapat diketahui dari hebatnya peperangan yang terjadi.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berkisah Tentang Perang

Tampak mukjizat kenabian, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat di Madinah tentang kematian tiga panglimanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dalam keadaan sedih meneteskan air mata seraya berkata, “Bendera perang dibawa oleh Zaid lalu berperang hingga mati syahid, lalu bendera diambil oleh Ja’far dan berperang hingga mati syahid, lalu bendera perang dibawa oleh Siafullah (Pedang Allah –yakni Khalid bin Walid, pen.) hingga Allah memenangkan kaum muslimin.” Setelah itu, beliau mendatangi keluarga Ja’far dan menghibur mereka serta membuatkan makanan untuk mereka.

Pelajaran dari Kisah:

  1. Boleh mengangkat beberapa pemimpin dalam satu waktu dengan syarat tertentu dan memimpin secara berurutan.
  2. Kaum muslimin mengangkat Khalid sebagai panglima perang merupakan dalil bolehnya ijtihad di masa hidupnya Rasulullah.
  3. Keutamaan tiga panglima (Zaid, Ja’far, Abdullah bin Rawahah) dan keutamaan Khalid bin Walid sebab dalam peperangan ini Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya dengan Saifullah (Pedang Allah).
  4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematian tiga panglimanya, menunjukkan rahmatnya kepada umatnya dan bahwasanya beliau berusaha menentramkan jiwanya untuk bersabar terhadap musibah. Dan ini lebih baik daripada yang tidak sedih dan tidak tersentuh oleh musibah sama sekali.
  5. Hakikat hidup dan ‘izzah (kemuliaan) yang disingkap oleh Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya kemenangan bukanlah karena kekuatan dan jumlah secara materi, melainkan agama dan ketaatan kepada Allah. Lihat Sirah Nabawiyyah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 521-526 dan Sirah Nabawiyyah karya Dr. Akram: 2:267-270
Sumber: Majalah Al-Fuqon Edisi 6 Tahun Ke-11 1433 H/2012 M

Perang Khaibar